30 Nov

Karya Dosen: Buku Ajar Manajemen Kesling dan Limbah Rumah Sakit

Fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas, klinik kesehatan atau sejenisnya memiliki peranan penting sebagai fasilitas publik yang memberikan pelayanan preventif, kuratif dan atau rehabilitatif. Selain itu ada sebagian fasilitas pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit yang turut membantu dan mendukung kegiatan pembelajaran atau yang sering disebut “rumah sakit pendidikan” dimana di samping pelayanan medik juga pendidikan, pelatihan dan penelitian. Dalam mendukung kegiatannya, fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan lingkungan yang sehat, dalam artian memiliki sanitasi yang baik agar fungsi dari fasilitas pelayanan kesehatan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Namun yang menjadi tantangan bagi penyedia pelayanan kesehatan adalah buangan atau hasil sampingan kegiatan dengan jenis dan jumlah yang berbeda akan menimbulkan dampak negatif baik bagi kesehatan maupun lingkungan yang langsung maupun tidak langsung juga akan mengarah pada kesehatan masyarakat dan perorangan.

Limbah pelayanan kesehatan berbeda dengan limbah dari perusahaan atau limbah rumah tangga pada umumnya khususnya dari karakteristiknya sehingga diperlukan upaya pengelolaan yang lebih spesifik. Namun saat ini, masih buruknya pengelolaan limbah dari fasilitas pelayanan kesehatan terlihat mulai dari limbah itu dihasilkan, dikelola hingga pada saat pembuangan. Permasalahan pengelolaan limbah khususnya limbah medis menjadi masalah dan tantangan bagi setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Pasalnya, pengelolaan limbah medis membutuhkan biaya yang cukup besar dan aturan yang wajib dipenuhi oleh penghasil limbah sebagai syarat dari upaya pengelolaan yang ada.

Saat ini, sering ditemukan pengelolaan limbah medis dari fasilitas pelayanan kesehatan masih dibawah standar yang diatur dalam peraturan dan perundangan yang berlaku. Pemilahan yang buruk menyebabkan jumlah limbah medis bertambah banyak, karena ketika limbah non medis tercampur atau kontak dengan limbah medis, maka limbah tersebut pun akan dikategorikan sebagai limbah medis. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan jumlah limbah medis menjadi tidak efisien. Dalam hal pengelolaan, limbah medis tidak dikelola dengan baik dari mulai pemilahan, penampungan, pengangkutan, hingga pemusnahannya. Pengelolaan yang salah akan berdampak terhadap petugas pengelola limbah baik dari aspek kesehatan maupun keselamatannya, selain juga berdampak terhadap lingkungan. Pengelolaan akhir limbah menjadi masalah besar bagi fasiliitas pelayanan kesehatan. Tidak semua rumah sakit sebagai penghasil limbah medis terbesar memiliki insenerator sebagai alat bantu dalam pemusnahan limbah medis dan tidak semua insenerator yang dimiliki rumah sakit telah memiliki izin operasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki insenerator dapat mengirimkan limbahnya ke rumah sakit lain yang memiliki insenerator melalui kerja sama namun rumah sakit tersebut sudah harus memiliki izin operasional insenerator dan izin menerima serta mengolah limbah medis dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Disamping itu kerja sama juga dapat dilakukan dengan perusahaan pengolah limbah bahan beracun berbahaya atau B3 untuk kategori medis. Selain itu pengangkutan limbah medis dari satu sarana pelayanan kesehatan ke sarana lain yang memiliki alat pemusnah limbah medis harus menggunakan alat transportasi khusus sesuai dengan ketentuan yang ada. Bagi suatu daerah yang tidak terdapat alat pengolah limbah medis yang dapat mengolah limbah medis dari beberapa sarana pelayanan kesehatan sesuai standar maka upaya pengelolaan limbah medis dapat dilakukan dengan pihak ketiga melalui kerja sama antara sarana pelayanan kesehatan, perusahaan pengolah limbah B3 untuk limbah medis dan transportir berizin dan dikeluarkan oleh menteri baik perizinan dalam pengolahan maupun pengangkutannya. Permasalahan baru yang muncul adalah tidak semua transportir bersedia melakukan pengangkutan limbah medis dalam 2 x 24 jam mengingat keterbatasan alat pengangkut dan jarak pengangkutan yang ada. Hal ini tentu akan menjadi permasalahan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam menampung limbah medisnya sementara limbah sudah harus segera dimusnahkan dalam 24 jam atau 48 jam jika musim hujan. Fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki ruang freezer yang memenuhi syarat untuk menyimpan limbah medis lebih dari 2 x 24 jam. Hal ini tentu akan membutuhkan biaya sangat besar disamping biaya pengelolaan lainnya.

Permasalahan pengelolaan limbah tidak hanya terjadi terhadap limbah medis yang berbentuk padat tetapi juga dalam bentuk cair yang perlu dikelola dengan baik. Limbah cair yang dihasilkan dari fasilitas pelayanan kesehatan baik itu limbah cair medis maupun limbah cair non medis harus dikelola melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dimana kualitas limbah cair harus dipantau dan dipastikan memenuhi baku mutu yang telah ditentukan. Pada kenyataannya, tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan memiliki IPAL dan tidak semua IPAL yang ada memenuhi kualitas limbah cair yang dipersyaratkan. Dampaknya adalah terjadinya gangguan estetika, bau, pencemaran lingkungan dan memungkinkan terjadinya infeksi nosokomial bagi petugas dan orang yang berada di sekitarnya. Limbah gas dan limbah B3 lainnya juga perlu dilakukan pengelolaan sesuai standar karena pengelolaan yang salah akan menimbulkan dampak keselamatan dan kesehatan bagi petugas dan orang sekitarnya termasuk pasien dan masyarakat yang tinggal di sekitar fasilitas pelayanan kesehatan serta dapat berdampak pada pencemaran lingkungan yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat secara luas.

Kewajiban dalam pengelolaan terhadap limbah yang dihasilkan sudah diatur dalam “Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” termasuk mengenai sanksi hukumnya. Pada pasal 103 undang – undang tersebut jelas dinyatakan bahwa bagi penghasil limbah B3 yang tidak melakukan upaya pengelolaan mulai dari kegiatan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan dan / atau pengolahan termasuk penimbunan limbah B3 seperti yang disebutkan dalam pasal 59 dapat dikenakan sanksi pidana dan denda. Pada pasal tersebut disebutkan sanksinya bahwa “dipidana dengan penjara minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun serta denda minimal Rp 1 Milyar dan maksimal Rp 3 Milyar” . Apabila tidak terdapat teknologi atau sistem pengelolaan di tempat penghasil limbah maka upaya pengelolaan lanjutannya dapat dipihak ketigakan namun harus memenuhi persyaratan legalitas perizinan yang berlaku. Oleh karena itu jelas pengelolaan limbah merupakan hal yang serius yang tidak dapat dikesampingkan, mengingat dampaknya terhadap keselamatan, kesehatan dan lingkungan serta sanksi hukumnya.

 

Related Posts